Saturday, November 25, 2006

Konspirasi Perlambat Penuntasan Kasus Runtu Kalimantan Tengah

SiaranPers Bersama
Tentang
Konspirasi Perlambat Penuntasan Kasus Runtu Kalimantan Tengah

Kami menyesalkan tidak adanya niat baik Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah khususnya Kabupaten Kotawaringin Barat dalam menyelesaikan kasus sengketa tanah antara PT. MMS (Mitra Mendawai Permai) dengan masyarakat Runtu Kecamatan Arut Selatan Kotawaringain Barat. Kami menduga penyelesaian kasus yang terus terkatung-katung ini merupakan upaya sistematis pengusaha yang melibatkan aparat keamanan dan aparat pemerintah lokal dalam mempertahankan penguasaan sumber ekonomi.

Kasus yang terjadi sejak tahun 2004 bermula saat PT MMS melakukan usaha pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Pihak perusahaan melakukan okupasi terhadap lahan perkebunan yang dimiliki masyarakat tanpa adanya proses yang jelas utamanya tentang pengalihan hak kepemilikan yang dikuasai oleh masyarakat tersebut.

Puncaknya, pada 25 Mei 2005 masyarakat menuntut pihak perusahaan menarik bulldozer yang menghancurkan lahan perkebunan dan menggarap lahan mereka. Sebelum melakukan aksi, masyarakat sempat meminta restu dari Ujang Iskandar (saat ini Bupati Kotawaringin Barat) dan Camat Arut Selatan, Praptiniwati tentang tindakan apa yang harus dilakukan terhadap bulldozer milik perusahaan yang menggarap lahan tersebut. atas restu kedua orang tersebut, masyarakat lalu menyandera kedua bulldozer tersebut. Aparat Brimob dan preman perusahaan melakukan penyerangan kepada masyarakat dengan masyarakat setempat. Akibatnya, satu orang warga meninggal dunia dan puluhan orang luka-luka terkena terkena tembakan dan pemukulan yang dilakukan aparat Brimob sehingga harus dibawa ke rumah sakit. 50 orang warga ditahan tanpa melalui proses hukum di Polres Kobar. Seluruh akses keluarga untuk menjenguk ke rumah sakit maupun tahanan tidak didapat. Keluarga baru dapat bertemu setelah korban keluar dari rumah sakit dan dibebaskan dari tahanan.

Esoknya, Muspida Kotawaringin Barat dan masyarakat menyepakati agar warga yang ditahan dilepaskan. Muspida juga harus memberikan peringatan pada PT MMS untuk tidak mengintimidasi warga serta tidak melakukan kegiatan atau menggarap lahan yang dipertahankan oleh warga sampai ada kesepakatan dari warga serta mengeluarkan semua alat-alat PT MMS dari tanah warga. Namun, kesepakatan itu tidak dijalankan sepenuhnya. Aktivitas perusahaan terus berlangsung. Bahkan perusahaan kembali melakukan cara-cara kekerasan dan tidak menghargai hak asasi manusia berupa pembakaran, intimidasi dan pengambil alihan tanah milik masyarakat secara paksa. Termasuk mengintimidasi dan meneror aktivis yang giat melakukan pendampingan terhadap kasus ini.

Pada Juni 2005, salah seorang anggota DPD-RI utusan Kalimantan Tengah yang ditugaskan memantau kasus ini telah mencoba menyuap salah seorang korban yang juga ketua Badan Perwakilan Desa, Bapak H. Hamihan dengan tujuan agar para korban tidak melanjutkan kasus ini.

Para petani dan pendamping telah melaporkan kasus ini ke Kapolri, DPRD Propinsi Kalteng dan Komnas HAM pada periode Mei-Juni 2005. Mabes Polri telah mengeluarkan surat kepada Polda Kalteng untuk melakukan penyelidikan atas keterlibatan aparat. Namun, hingga saat ini penyelesaian kasus ini seakan terhenti tanpa penyelesaian.

Para korban dan pendamping dari Walhi, Solidamor 26 dan Kontras telah melakukan pertemuan dengan Divpropam Mabes Polri dan Komnas HAM pada 14 November 2006, DPD pada 15 November 2006 dan DPR-RI tanggal 16 November 2006.

Dari pertemuan tersebut, Divpropam menginformasikan bahwa telah melimpahkan penanganan kasus ini dari Mabes Polri ke Polda Kalteng, sebagaimana tertuang dalam Surat Kadiv propam Polri No Pol : R/YD-408/VII/2005/Divpropam. Mereka menjanjikan akan mengirimkan tim supervisi pada 6-12 Desember 2006 ke Polda Kalteng. Komnas HAM akan memberikan jaminan perlindungan kepada para pelapor, akan membuat surat kepada instansi yang terkait dan akan turun ke lapangan. DPD juga menjanjikan hal serupa.

Kami menengarai, bahwa terkatung-katungnya kasus ini merupakan upaya yang sistematis yang juga melibatkan aparat keamanan dan aparat pemerintahan lokal. Polda Kalimantan Tengah melakukan pembangkangan kepada Mabes Polri dengan belum melaporkan hasil penyelidikannya kepada Mabes Polri. Ujang Iskandar yang awalnya mendukung petani dan saat ini telah menjadi Bupati tidak juga mendukung penuntasan kasus ini. Sementara Utusan Dewan Perwakilan Daerah yang seharusnya membantu masyarakat untuk menyelesaikan kasus ini, juga ikut bermain dan memihak kepada perusahaan.

Kami mendesak pemerintah pusat untuk mengambil alih penyelesaian kasus ini, serta menghentikan kekerasan berupa intimidasi dan pencaplokan lahan yang masih terus berlanjut hingga saat ini. Kapolri dan Komnas HAM harus segera menindaklanjuti laporan yang telah disampaikan. Para petani tidak dapat lagi menggantungkan harapan kepada pemerintah daerah karena keberpihakan aparat pemerintah daerah maupun aparat keamanan dengan pengusaha dalam kasus ini sudah semakin dalam.***

Palangkaraya, 22 November 2006

WALHI EKNAS, KONTRAS, SOLIDAMOR-26

Contact Person : Alfred Uga (081352714595)