Saturday, November 25, 2006

Konspirasi Perlambat Penuntasan Kasus Runtu Kalimantan Tengah

SiaranPers Bersama
Tentang
Konspirasi Perlambat Penuntasan Kasus Runtu Kalimantan Tengah

Kami menyesalkan tidak adanya niat baik Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah khususnya Kabupaten Kotawaringin Barat dalam menyelesaikan kasus sengketa tanah antara PT. MMS (Mitra Mendawai Permai) dengan masyarakat Runtu Kecamatan Arut Selatan Kotawaringain Barat. Kami menduga penyelesaian kasus yang terus terkatung-katung ini merupakan upaya sistematis pengusaha yang melibatkan aparat keamanan dan aparat pemerintah lokal dalam mempertahankan penguasaan sumber ekonomi.

Kasus yang terjadi sejak tahun 2004 bermula saat PT MMS melakukan usaha pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Pihak perusahaan melakukan okupasi terhadap lahan perkebunan yang dimiliki masyarakat tanpa adanya proses yang jelas utamanya tentang pengalihan hak kepemilikan yang dikuasai oleh masyarakat tersebut.

Puncaknya, pada 25 Mei 2005 masyarakat menuntut pihak perusahaan menarik bulldozer yang menghancurkan lahan perkebunan dan menggarap lahan mereka. Sebelum melakukan aksi, masyarakat sempat meminta restu dari Ujang Iskandar (saat ini Bupati Kotawaringin Barat) dan Camat Arut Selatan, Praptiniwati tentang tindakan apa yang harus dilakukan terhadap bulldozer milik perusahaan yang menggarap lahan tersebut. atas restu kedua orang tersebut, masyarakat lalu menyandera kedua bulldozer tersebut. Aparat Brimob dan preman perusahaan melakukan penyerangan kepada masyarakat dengan masyarakat setempat. Akibatnya, satu orang warga meninggal dunia dan puluhan orang luka-luka terkena terkena tembakan dan pemukulan yang dilakukan aparat Brimob sehingga harus dibawa ke rumah sakit. 50 orang warga ditahan tanpa melalui proses hukum di Polres Kobar. Seluruh akses keluarga untuk menjenguk ke rumah sakit maupun tahanan tidak didapat. Keluarga baru dapat bertemu setelah korban keluar dari rumah sakit dan dibebaskan dari tahanan.

Esoknya, Muspida Kotawaringin Barat dan masyarakat menyepakati agar warga yang ditahan dilepaskan. Muspida juga harus memberikan peringatan pada PT MMS untuk tidak mengintimidasi warga serta tidak melakukan kegiatan atau menggarap lahan yang dipertahankan oleh warga sampai ada kesepakatan dari warga serta mengeluarkan semua alat-alat PT MMS dari tanah warga. Namun, kesepakatan itu tidak dijalankan sepenuhnya. Aktivitas perusahaan terus berlangsung. Bahkan perusahaan kembali melakukan cara-cara kekerasan dan tidak menghargai hak asasi manusia berupa pembakaran, intimidasi dan pengambil alihan tanah milik masyarakat secara paksa. Termasuk mengintimidasi dan meneror aktivis yang giat melakukan pendampingan terhadap kasus ini.

Pada Juni 2005, salah seorang anggota DPD-RI utusan Kalimantan Tengah yang ditugaskan memantau kasus ini telah mencoba menyuap salah seorang korban yang juga ketua Badan Perwakilan Desa, Bapak H. Hamihan dengan tujuan agar para korban tidak melanjutkan kasus ini.

Para petani dan pendamping telah melaporkan kasus ini ke Kapolri, DPRD Propinsi Kalteng dan Komnas HAM pada periode Mei-Juni 2005. Mabes Polri telah mengeluarkan surat kepada Polda Kalteng untuk melakukan penyelidikan atas keterlibatan aparat. Namun, hingga saat ini penyelesaian kasus ini seakan terhenti tanpa penyelesaian.

Para korban dan pendamping dari Walhi, Solidamor 26 dan Kontras telah melakukan pertemuan dengan Divpropam Mabes Polri dan Komnas HAM pada 14 November 2006, DPD pada 15 November 2006 dan DPR-RI tanggal 16 November 2006.

Dari pertemuan tersebut, Divpropam menginformasikan bahwa telah melimpahkan penanganan kasus ini dari Mabes Polri ke Polda Kalteng, sebagaimana tertuang dalam Surat Kadiv propam Polri No Pol : R/YD-408/VII/2005/Divpropam. Mereka menjanjikan akan mengirimkan tim supervisi pada 6-12 Desember 2006 ke Polda Kalteng. Komnas HAM akan memberikan jaminan perlindungan kepada para pelapor, akan membuat surat kepada instansi yang terkait dan akan turun ke lapangan. DPD juga menjanjikan hal serupa.

Kami menengarai, bahwa terkatung-katungnya kasus ini merupakan upaya yang sistematis yang juga melibatkan aparat keamanan dan aparat pemerintahan lokal. Polda Kalimantan Tengah melakukan pembangkangan kepada Mabes Polri dengan belum melaporkan hasil penyelidikannya kepada Mabes Polri. Ujang Iskandar yang awalnya mendukung petani dan saat ini telah menjadi Bupati tidak juga mendukung penuntasan kasus ini. Sementara Utusan Dewan Perwakilan Daerah yang seharusnya membantu masyarakat untuk menyelesaikan kasus ini, juga ikut bermain dan memihak kepada perusahaan.

Kami mendesak pemerintah pusat untuk mengambil alih penyelesaian kasus ini, serta menghentikan kekerasan berupa intimidasi dan pencaplokan lahan yang masih terus berlanjut hingga saat ini. Kapolri dan Komnas HAM harus segera menindaklanjuti laporan yang telah disampaikan. Para petani tidak dapat lagi menggantungkan harapan kepada pemerintah daerah karena keberpihakan aparat pemerintah daerah maupun aparat keamanan dengan pengusaha dalam kasus ini sudah semakin dalam.***

Palangkaraya, 22 November 2006

WALHI EKNAS, KONTRAS, SOLIDAMOR-26

Contact Person : Alfred Uga (081352714595)

Saturday, October 28, 2006

Selamat Hari Raya Idul Fitri

SIARAN PERS

Palangka Raya 21 Oktober 2006
WALHI Kalimantan Tengah
Direktur Eksekutif - Satriadi

WALHI Kalteng Bagi Masker dan Kartu Lebaran

Palangka Raya, Prihatin dengan kondisi kabut asap yang tidak tahu sampai kapan akan hilang, WALHI Kalimantan Tengah akan membagi-bagikanmasker kepada masyarakat Palangka Raya. Pembagian masker ini dilakukan di Bundaran Besar pada hari Sabtu tanggal 21 Oktober 2006. Karena keterbatasan stok yang ada dipasaran, dan kesulitan untuk mendapatkan masker dalam jumlah banyak, maka yang bisa dibagikan hanya berjumlah 2000 masker.

Walhi Kalteng menyadari begitu berat beban yang mesti ditanggung oleh masyarakat, dalam kondisi kehidupan masyarakat yang serba berat tersebut, masyarakat meski dipaksa untuk menghirup udara kotor, dan bahkan mesti mengeluarkan biaya ekstra untuk berobat.

Disisi lain, Pemerintah yang mestinya bisa melindungi rakyatnya dari berbagai persoalan tersebut, tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal merupakan Hak Rakyat untuk mendapatkan Lingkungan Hidup yang sehat.
Untuk hal tersebut Walhi Kalteng menuntut kepada aparat penegak hukum dan Pemerintah untuk :

1. Tangkap dan adili setiap perusahaan pelaku pembakaran lahan dan hutan
2. Buka pelayanan kesehatan gratis bagi rakyat
3. Penuhi Hak Rakyat untuk mendapatkan Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat.

Disamping membagi-bagikan masker, Walhi Kalteng juga akan membagikan Kartu Lebaran. Pembagian kartu Lebaran dilakukan bersamaan waktunya dengan pembagian masker. Penyampaian kartu lebaran ini dimaksudkan untuk lebih mempererat tali silahturahmi antara Walhi Kalteng dengan masyarakat. Walhi menyadari upaya penyelamatan lingkungan hidup mesti dilakukan oleh semua komponen, terutama seluruh masyarakat. Gerakan penyelamatan lingkungan menjadi sebuah gerakan bersama.

Pesan lain yang disampaikan melalui penyampaian kartu lebaran adalah Walhi meminta maaf kepada masyarakat, karena hingga kini masih belum mampu menyadarkan para pengambil kebijakan untuk bersikap dan memperhatikan aspek-aspek lingkungan dalan pengambilan kebijakan.

Hingga hari ini kebijakan yang dikeluarkan justru membuat lingkungan hidup semakin mengalami kehancuran yang tentunya sangat berdampak langsung kepada masyarakat yang menjadi korban. Semoga upaya yang dilakukan ini menjadi sebuah kesadaran baru bagi para pengambil kebijakan, dan kita semua tidak disuguhi dengan asap setiap tahun.

Kepada seluruh masyarakat Kalimantan Tengah, Walhi Kalteng mengucapkan
"Selamat Idul Fitri 1427 H, Minal aidin Walfaidin, mohon maaf lahir dan batin"

Monday, August 28, 2006

Posisi Kasus Ileggal Logging Di Muara Bulan Kabupaten Katingan Kalimantan Tengah

Latar Belakang

Pemanfaan hutan dikawasan sebanagau khusunya didesa Muara Bulan dan sekitarnya sudah berlangsung lama sejak kawasan ini masih dikelola oleh salah satu perusahaan p HPH PT. Semanggang Jaya sejak tahun 1972, Sejak saat itu banyak pendatang yang mulai menempati desa tersebut yang berdatangan dari berbagai wilayah terutama wilayah pesisir dan dari daerah pegatan dan mendawai dan menjadi penduduk muara bulan. Selanjutnya masyarakat sekitar Muara Bulan mulai memanfaakan Sumberdaya alam terutama bekerja disektor kayu yang berada di sekitar Sungai Bulan, namum kayu-kayu yang dimanfaatkamn masih berdiameter besar yaitu diatas 60 Cm dan masih menguanakan peralatan manual. Pemanfaattn kayu ini mulai dilakukan masyarakat sejak tahun 80 an.

Setelah Orde Baru runtuh dan mulai memasuki masa reformasi dimana otonomi daerah mulai diberlakukan, kemudian banyak masyarakat pendatang mulai memasuki sungai bulan, terutama pendatang yang berasal dari provinsi tetangga Kalimantan Selatan terutama dari daerah Negara untuk menjadi pekerja kayu, sealain itu juga ada yang di datangkan dari pulau jawa daerah Pacitan dan Dari Palembang Sumatera Selatan. Para pendatang tersebut banyak dimodali oleh cukong yang saat itu lagi marak tanpa tersentuh oleh hukum. Biasanya mereka dibiayai selama melakukan aktivitas dengan sistem bagi hasil dimana para penebang memperoleh penggantian biaya perkubik dengan pembagian sesuai fluktuasi harga kayu dipasaran. Untuk biaya peralatan dan alat-alat yang digunakan untuk aktivitas penebangan semua ditanggunng oleh pemodal (cukong) termasuk biaya logistik dilapanyan disuplay oleh cukong, namun kemudian akan dipotong setelah kayu bisa dikeluarkan dari lokasi. Pada masa tahun 1999- 2001 dimana kayu ramin merupakan primadona karna harganya yang melambung tinggi, semakin banyak pendatang dan masyarakat yang bekerja disektor kayu dan masuk melalui sungai bulan. Hal tersebut juga mulai memunculkan konflik dimana saling berebut lokasi –lokasi kayu anatar sesame cukong kayu. Sementara itu sawmill-sawmil dan bansaw-bansaw mulai menjamur bermunculan di sekitar DAS Katingan, terutama di daerah Kecamatan Mendawai sampai ke Katingan Kuala.

Untuk mengantisipasi hal tersebut pada tahuan 2001 pihak kepolisian mendirikan Pos Polisi di Desa Muara Bulan. Pos Polisi tersebut awalnya hanya meminjam Lanting (rumah Terapung) Milik Haji Rahmat salah satu penduduk Desa Muara Bulan, namun setelah beberapa bulan pihaknya mampu membeli tanah dan membangun Pos Polisi secara permanent didarat sekitar 300 Meter dari Muara Sungai Bulan.

Sementara di Sungai Bulan yang panjangnya -/+ 55 Km yang memiliki 10 anak sungai mulai ramai dengan aktivitas para penebang, Banyak kanal-kanal (tatah) yang di buat khusus untuk mengeluarkan kayu –kayu dari dalam hutan selain menggunakan anak sungai. Hampir di sepanjang sungai terdapat pondok-podok penebang, namun salah satu perkampungan penebang yang paling ramai adalah kampung musang yang berlokasi persis di muara sungai musang sekitar 7 Km dari DAS Katingan. Perkampungan tersebut sangat ramai dikunjungi oleh para penebang apalagi pada hari jumat dimana hari tersebut merupakan hari libur para pekerja. Kampung Musang (begitu masyarakat lokal menyebutnya) hampir menyerupai sebuah desa dan telah banyak diketahui orang termasuk aparat, namun kampung tersebut tidak terdaftar sebagai bagian administartif desa Muara Bulan. Padahal penduduk yang mendiami daerah tersebut menurut perkiraan melebihi dari seribu jiwa. Selain tempat berkumpulnya para penebang kayu, juga tempat tersebut merupakan wadah para pekerja untuk melakukan hiburan, karena dilokasi tersebut terdapat Karaoke, Meja Biliard dan kios-kios yang menjajakan kebutuhan-kebutuhan para penebang. Bahkan disinyalir berdasarkan iformasi dari masyarakat lokal yang banyak mengunjungi kawasan tersebut bahwa disitu tempat transaksi obat-oabat terlarang dan tepat berkumpulnya para penjahat dan bandar-bandar narkoba dari berbagai daerah terutama dari Banjarmasin.

Setelah moratorium ramin dilakukan oleh pemerintah, banyak para cukong dan penebang membanting strir dengan memanfaatkan kayu-kayu selain ramin yaitu kayu jenis Lanan, Meranti, Kruing, dll. Beriringan dengan semakin menipisnya persedian kayu, maka hingga saat ini kayu-kayu yang ditebang berukuran kecil, bahkan ada yang berdiameter 15 cm pun ditebang. Disisi lain ukuran kayu berdiameter antara 15 Cm - 30 cm lebih disukai oleh pembeli karena selain mudah untuk mengerjakanya (mengesek di mesin pemotong) juga sedikit saja yang dibuang dan langsung jadi kayu masak dengan ukurana Balok 12 x 8. Lain halnya apabila membeli kayu yang besar diameternya diatas 30 cm bisa banyak yang dibuang karena rusak, selain itu resiko kayu berlobang dan bengkok juga banyak kemungkinannya. Hal ini yang mendorong para penebang untuk melakukan penebangan kayu dengan diameter kecil tersebut.

Konflik di Masyarakat dan Keterlibatan Aparat

Seiring dengan berjalanyaa aktivitas penebangan disepanjang sungai bulan, keadaan di masyarakat desa muara bulan juga mulai mengalami kegelisahaan dimana sumberdaya alam yang ada di wilayah desa mereka mulai habis dan banyak dinikmati oleh para cukong terutama masyarakat pendatang. Pada pertengahanan tahun 2003 maka di buatlah kesepakatan masyarakat Muara Bulan untuk melakukan restribusi terhadap hasi-hasil kayu yang dikelurakan melalui Sungai Bulan. setiap rakit yang dikeluarkan di punggut biaya 150- 250 Ribu per rakit kayu. Dari rakit kayu yang keluar tipa hari rata-rata bisa mencapai ratusan rakit. Hasil dari restribusi tersebut, masyarakat berhasil membangun jalan titian kayu (jembatan) sepanjang -/+ 1 km disepanjang desa mereka.

namun setelah itu restribusi desa terhenti karena mulai tidak tranparan dalam pengelolaanya. Selain itu juga mulai terjadi konflik dengan pendatang yang merasa keberatan atas pungutan yang dilakukan.

Kemudian pada tahuan 2004 Pos Restribusi desa (punggutan) ini diaktivkan lagi, namun untuk memperkecil konflik masyarakat Desa Muara Bulan memanfaatkan anggota Brimob untuk menjaga kawasan tersebut, para anggota brimob tersebut digaji oleh masyarakat dari hasil pungutan tersebut, sehingga dibangunlah pos polisi brimob persis di depan kampung musang tempat para penebang. Hal ini tidak berlangsung lama hanya berkisar sekitar 5 Bulan akibat pengeloalan yang tidak transparan dan saling menuduh antara pemerintah desa ( kades ) dengan pihak BPD desa. Masing-masing kubu saling menuduh mengelapkan uang restribusi sekitar 150 Juta. Mulai saat mulai terjadi kerenggangan antar pihak Pemerintah Desa Dan BPD, namun kareana mersa tergiur oleh pendapatan yang lumanyan, pada bulan februari 2006 pihak BPD mengadakan lagi restribusi kayu tersebut, namun pihak kepala desa mulai tidak setuju . Akibat konflik tersebut, hal ini mulai mengemuka dan banyak diketahui orang. Mengingat hal tersebut mulai diketahui khalayak banyak, maka diturunkan Tim untuk membongkar aktivitas penebngan didanau bulan ini, dimana sebelumnya tim intelejen terlebih dahulu melakukan fly over menggunakan pesawat untuk melihat lokasi-lokasi kayu didalam sungai bulan.

Bagi aparat hal ini sangat ironis, karena aktivitas penebang yang dilakuakn didaerah sungai bulan ini tidak pernah ditertibkan, padahal semenajak Inpres Illegal Logingg Nomor 4 Tahun 2005 di keluarkan Oleh Persiden SBY dan dilakukan penertiban secara menyeluruh di seluruh daerah di Indonesia termasuk daerah Katingan, namun anehnya aktivitas ini tidak pernah tercium oleh aparat padahal hal tersebut terjadi di depan mata karena keberadaan Pos Polisi yang di komandani Serka Jhon Digul berada tepat di depan Muara Sungai Bulan tempat kayu-kayu dikeluarkan. Hal ini sangat mustahil apabila pihak aparat kepolisian dilapangan sampai tidak mengetahui aktivitas penebangan dilapangan bahkan disinyalir sang komandan pos polisi sering mengunjungi kampung penebang di dalam Muara Sungai Bualan tersebut. Selebihnya pihak aparat Brimob juga pernah diminta bantuan untuk mengamankan konflik antara masyarakat lokal dan pendatang bahkan sempat membangun pos ditengah perkampungan penebang. Selain Pos Polisi di desa Muara Bulan juga ada Pos Dinas Kehutanan. Pos ini sudah lama ada sejak tahun 80-an, namun hal itu juga tidak menjamin tertibnya penjarahan di hutan sekitar wilayah muara bulan tersebut.

Pos–pos tersebut justru menjadi ajang pungli, menurut masyarakat setiap rakit wajib menyetor Rp 250.000 –Rp. 500.000 setiap lewat di Pos polisi tersebut. Hal ini sudah berlangsung lama sejak pos polisi tersebut didirikan.

Indikasi Aktor Dan Cukong

Kegiatan penebang yang dilakukan di Muara Bulan sudah berlangsung lama tanpa tersentuh karena hal tersebut dibekeingi oleh aparat dan cukong-cukong. Indikasi tersebut adalah bahwa kayu tersebut jumlahnya ratusan ribu potong dan sakal besar. tentu hal ini memerlukan sumberdaya yang besar terutama modal dan tenaga kerja dalam melakukan aktivitas penebangan. Biasanya cukong- cukong tersebut melaui kakai tanganya membiayai para penebang bahkan mendatangkan khusus dari nagara kalsel, Pacitan dan Pelembang dimana sebelumnya mereka telah memiliki lokasi dan areal didalam sungai bulan, bahkan ada yang membeli lokasi dari orang yang sebelumnya mengelola kawasan tersebut lengkap dengan tatah-tatahnya. Sebenarnya informasi tentang aktivitas ini pernah disinyalir oleh Pihak Korem, selanjutnya Wakil Bupati Katingan Yatenglie juga pernah mengujungi kawasan ini, namun hal ini terungakap setelah tim gabungan turun langsung kelapangan dimana sebelumnya tim intelejen mencari lokasi-lokasi kayu melalui pesawat. Padahal secara logis bahwa sawmil –sawmil yang berada disepanjang sungai Katingan terutama dari desa Perigi sampai Pegatan merupakan pembeli utama dari kayu-kayu illegal tersebut karena sawmill-sawmil tersebut tidak memiliki areal untuk memenuhi bahan baku kayu mereka. Para pemilik Sawmil tersebut banyak yang berasal dari Palembang dan Banjarmasin dan tidak pernah tersentuh oleh hukum.

Modus Operandi

Dalam melaksanakan aktivitas ilegal logging tersebut, pihak cukong biasanya melalui kaki tanganya mengkoordinir para pekerja yang didatangkan khusus dari luar kalteng, biasanya dari Negara Kalsel, dan Pacitan Jawa Timur serata Plembang Sumsel. Para pekerja tersebut diberikan modal kerja berupa alat-alat untuk melakukan aktivitas penebangan berupa chainsaw, dan alat-alat pendukung lainnya. Setiap kelompok terdiri dari 6-8 orang disatu lokasi yang sebelumnya sudah diklaim dulu sebagai wilayah kerjanya yang kemudian dibuat tatah-tatah (kanal) untuk mengeluarkan kayu, atau membeli kawasan dari orang yang sebelunya pernah mengeloala kawasan tersebut Biasanya dalam pembagian hasil disetiap kubik para penebang memperoleh Rp. 75.000 – 100.000 perkubik untuk jenis campuran, apabila jenis meranti (jenis kayu merah) yang diametrnya di atas 30 Cm bisa mencapai 300 ribu-350 ribu perkubik Kayu tersebut harus di jual ke pemodalnyadan tidak boleh di jual kepembeli lain. Sementara untuk logistik dan bahan makanan mereka disupport oleh pemodal melaui kurir ke dalam hutan tempat mereka bekerja. Biaya makanan tersebut dipotong juga oleh pemodal yang tentunya dengan harga yang mengagit pula.

Sementara apabila menjual langsung tanpa dimodali biasanya untuk perkubik sebesar 130 Rb / kubik untuk jenis kayu campuran ( berbagai ukuaran diameter 15 Cm-30 Cm dari jenis meranti, garunggang, Martibu, Pantung, Purnaga, Uwar, Katiaw, Jinjit) Sementara untuk jenis kayu meranti ( Kayu Merah) dengan ukuran diatas 30 cm apabila di terima dilokasi (di sawmill) bisa mencapai 600 ribu perkubik. Kayu-kayu tersebut kemudian di gesek dan diolah di sawmill disepanjang Sungai Katingan dari desa Perigi sampai ke Pegatan. Setelah log-log kayu tersebut menjadi kayu olahan berupapa balok-balok kemudian dibuatkan surat-surat (SKSHH) melui aparat-parat dinas kehutan yang tentunya diperoleh dengan illegal. Setelah memperoleh legalisasi, kayu olahan tersebut di kirim ke Surabaya, dan Jawa Tengah. Intinya proses legalisasi kayu-kayu dari Sungai Bulan dilakuakn di Sawmil-Sawmil tersebut dengan bekerja sama dengan dinas kehutanan setempat untuk menerbitkan SKSHH.

Paska penertiban

Setelah Tim terpadu yang terdiri dari Pihak BKSDA, Kejaksaan Tinggi Kalteng, Korem 102/PP, POLDA Kalteng, Dishut Propinsi Klateng, Dishut Katingan pada tanggal 21 Juni 2006 turun ke lokasi dan menemukan sekitar 500 ribu potong kayu dari berbagai jenis berdiameter rata –rata 30 cm disepanjang sungai dan danau-danau disungai bulan yang membuat tercengang semua pihak karena banyaknya kayu –kayu tersebut di tengah maraknya penertiban yang dilakuakan oleh aparat kepolisian. Semua pihak yang berkepentingan mulai memanfaatkan keadaan, berbagai prediksi- krtikan dan tangapan dilontarkan yang justru membingungkan masyarakat.

Dua hal yang mengemuka adalah pertama kayu-kayu tersebut dimusnahkan karena Undang-Undang mengisyaratkan hal itu, dan kedua kayu-kayu tersebut dilelang, dan satu pilihan alternative dengan alasan sosial bahwa kayu-kayu tersebut disumbangkan ke daerah bencana. Setelah penemuan tersebut di desa muara bulan dijadikan pos gabungan dari pihak Dinas Kehutanan, BKSDA, Korem dan bahkan didesa Muara Bulan diterjunkan pasukan gabungan dari pihak Kepolisian sekirat 100 personil terdiri dari polres Katingan, POlers Asmpit, Polda Kalteng dan Brimob. Hal ini menurut mereka untuk mengamankan kayu-kayu temuan tersebut, namun bagi masyarakat hal ini menakutkan karena desa mereka di penuhi oleh aparat yang berseragam dan bersenjata lengkap. Dilapangan tim pengaman tersebut berjalan sendiri-sendiri dimana pihak-pihak tersebut hanya menjaga kawasan masing-masing. Pihak kepolisian hanya menjaga kawasan yang menurut mereka tidak masuk dalam kawasan TN, sehingga di buat batas di Sungai Bulan yang bertuliskan kayu temuan Polres Katingan, sementara pihak BKSDA mengamanakan wilayah diatas sungai yang mereka anggap merupakan kawasan Taman Nasional Sebangau. Hal ini menujukan adanya kepentingan antar instansi-instansi tersebut dimana pihak kepolisian mengharapakan kayu-kayu temuan tersebut akan dilelang, sedangkan pihak BKSDA menginginkan kayu-kayu tersebut di musnakan karena menurut undang undang hal tersbut harus dimusnahkan. Hingga saat ini kayu-kayu dilapangan banyak yang hanyut terbawa banjir, bahkan banyak yang hilang. Ini menjukan bahwa penertiban illegal logging hanya mencari keuntungan dari hasil lelang kayu tersebut sementara hutan di Kalteng tetap terus dijarah. Tolak ukur penertiban illegal loging hanya menguanakn ukuran berapa kayu yang berhasil ditangkap, berapa kasusu yng berhasil ditangai bukan ukuran berapa luas kawasan yang sudah berhasil diselamtakan.

Kontroversi Taman Nasioanal

Status Taman Nasional juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan problem Ileggal Logging yang terjadi di Sungai Bulan ini. Taman Nasional Sebangau yang di tetapkan oleh Dephut melaui surat keputusan Mentri Kehutanan Nomor : SK 423/ Mehut-II/ 2004 tertanggal 19 Oktober 2004 yang ditandatangani oleh Muhamamad Prakoso seluas 568.700 Ha yamg terdiri dari hutan produksi seluas 510.250 Ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 58.450 Ha.

Selanjutnya pengelolaan kawsan TN otomatis telah diserahka kepada Dirjen Perlindungan Hutan dan Koservasi Alam (PHKA), sementara untuk pengelolan dan pengawasan seharusnya ada unit pelaksanaan teknis (UPT) dilapangan, namun hingga saat ini belum terbentuk sehingga pengeloalaan diserahkan kepada pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) sebagai kepanjangan tangan PHKA ditingkat Provinsi yang memiliki tanggung jawab atas Taman Nasional Sebangau tersebut.

Sejak ditetapkan menjadi kawasan Taman Nasional, seharusnya telah ada pengawasan yang dilakukan karena kewenangan pengelolaan sesuai dengan UU No 41 Tahun 1999 dan PP No.34 Tahun 2003 sepenuhnya berada pada kewenangan mentri kehutanan. Kewenangan tersebut meliputi administrasi dan institusi pengeloalaan opresional pengamaan serta pembiayaan.

Sebelumnya terjadi polemik yang serius tentang penetapam kawasan tersebut menjadi kawasana Taman Nasional antara pemerintah Propvinsi Kalteng, Pemerintah Kabupaten Katingan soal luasan kawasan tersebut dan lembaga-lembaga internasional yang mengelolanya, yang tentunya pada subsatansinya bukan untuk melindungi kawasan tersebut tetapi untuk merebut akses atas pengeloalan sumberdaya alam yanag ada di dalam kawasan tersebut. Alasan yang mengemuka adalah apabila kawasan tersebut di jadikan Taman Nasional pemerintah daerah tidak bisa mengakses kawasan tersebut karena kawasan tersebut rencanaya akan dibuat jalan tembus untuk akses desa-desa dan untuk pembangunan pelabuhan teluk Jeruju, sementara Depertemen kehutanan menjadikan kawasan itu menjadi Taman Nasional karena merupakan target untuk mengejar perluasan jumlah kawasan Taman Nasional di Indonseia atas desakan pihak luar dengan negara dan lembaga donor termasuk bank dunia. Proses tersebut tidak terlepas oleh campur tangan lembaga konservasi International bahkan operasi illegal loging disungai bulan juga merupakan campur tangan lembaga konservasi international.

Sangat ironis karena selam 2 tahun aktivitas penebangan illegal di kawasan tersebut tidak dapat dipantau. Hal ini menujukan bahwa Taman Nasional tidak dapat menjamin akan melindungi kawasan dari penjarahan Illegal Logging. Disinyalair bahwa penetapan kawasan Taman Nasional hanya mengejar target dari departemen kehutan berdasarkan pesanan pihak luar sementara pengawasanya sama sekali tidak pernah dilakukan. Hal ini memperpanjang kasus-kasus penjarahan dikawasan konservasi yang tidak dapat menjamin penjarahan illegal.

Keberadaan Taman Nasional ini membuat polemik apakah kayu-kayu temuan tersebut akan dilelang atau dimusnahkan sementara status kawasan ini masih penetapan saja dan memilki batasan imaginer seluas 568.700 Ha yang tentunya belum memiliki batas yang pasti sehingga belum jelas apakah kayu-kayu temuan tersebut masuk dalam kawasan TN atau tidak. Menurut undang-undang No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Hayati dan ekositemnya Pasal 24 ayat 2 yang mnyatakan :

Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi atau bagian-bagiannya yang dirampas untuk negara dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan.

Dilain pihak, Kepolisin dan pemerintah daerah Katingan mengingikan kayu-kayu tersebut di jual, bahakan perhitungan jumlah kayu yang dilakukan yang dipimpin oleh Buapati Katingan hany menghitung kayu-kayu yang di perkiraakan berda di luar kawasan, sementara kayu- kayua yang diperkirakan masuk TN di abaikan saja. Hal ini menjukan bahwa keinginan pemerintah daeraha dan pihakkepolisian untuk meperoleh keuntungandari kayu-kayu tersebut dengan melelang kayu-kayu tersdebut.

Dilain pihak konsep penerapan Kawasan Taman Nasioanal hanya melihat dari aspek ekologis juga salah satu dampak sitem pengelolaana kawasan yang tidak pberpihak pada rakyat dimana masyarakat lokal yang seharusnya memiliki kawasan dilarang beraktivitas dikawasan konservasi yang tentunya akan menutup akses masyarakat akan kawasan. Yang perlu hati–hati bahwa illegal logging akan dijadikan alasan utama untuk menutup akses masyarakat untuk memasuki kawasan disepanjang DAS Katingan terutama yang berdekatan dengan kawasan SEabanagu tersebut. Padahal kawasan tersebut merupakan mata pncaharian masayarakat lokal untuk mencari ikan dan mengemur, hal tersebut menjadi pertanyaan dan merupakan ancaman serius warga masyarakat didesa Muara Bulan. Mereka menjadi gelisah apabila sungai bulan di tutup selamanya dan mempertanyakan hal tersebut kepada DPD asal Kalteng Abi Kusno Nahran yang mengunjungi Muara Bulan berkenaan dengan temuan kayu tersebut.

Sejak dulu masyarakat lokal hanya memanfatakan kayu- kayu yang berukuran besar dari jenis kayu-kayu yang bagus, namun semenjak datanganya para pendatang, pemanfaatn hutan berubah kearah sporadis dengan menebang kayu-kayu kecil. Kalau dilarang menebang kayu mungkin kami bisa terima, tapi apabila mencari ikan dan mengemur kami dilarang ini tidak adil” kata noor (34 thn) penduduk desa Muara Bulan.

Hal ini akamn menjadi nacaman serius apabila tidak di tangani, karena masayarakat sekitar menjadikan huran dan sumberdaya alam sebagai mata pencaharian utama. Setelah penertiban kayu tersebut banyak masyarakat yang kemudian meninggalkan desa muara bulan dan mencari pencaharian lain sebagai penambang emas di danau Kalaru karena di desa mereka tidak ada lagi mata pencaharian lain karena kawasan sungai bulan telah dijaga oleh aparat dan masyarakat tidak berani untuk memasuki kawasan tersebut, sealain itu pondok-pondok yang ada banyak di bakar oleh aparat.

Hasil Investigasi

Rio And Dadut

Friday, July 14, 2006

Usut Tuntas Tragedi Runtu 26 Mei 2005

Siaran Pers

Untuk disiarkan segera


Usut Tuntas Tragedi Runtu 26 Mei 2005

Palangkaraya, 26 Mei 2006

Setahun sudah tragedi berdarah yang terjadi di Desa Runtu Kabupaten Kotawaringin Barat. Tragedi yang memakan korban 1 orang meninggal dunia, 2 orang cacat seumur hidup, ratusan orang luka ringan dan ribuan orang menderita defresi ringan, dan hingga kini belum ada kejelasan atas mengungkapan kasus ini.

Para pelaku lapanganpun tidak ada yang bertanggung jawab atas kejadian ini, dan tidak pernah diusut, bahkan kesepakatan yang dituangkan antara unsur Muspida Kotawaringin Barat dengan masyarakat korban yang disepakati pada tanggal 27 Mei 2005 hingga kini sebagian tidak dilaksanakan. Poin kesepakatan yang tidak dilaksanakan hingga sekarang diantara adalah :

1. Agar Muspida Kobar memberikan peringatan kepada perusahan PT. MMS beserta groupnya tidak melakukan intimidasi terhadap warga desa tersebut diatas.

2. Agar Muspida Kobar menginstruksikan kepada PT. MMS agar tidak melakukan kegiatan/menggarap lahan yang dipertahankan oleh warga masyarakat desa tersebut diatas, sampai ada kesepakatan dari seluruh warga masyarakat desa tersebut diatas.

Melihat kondisi terebut, kami yang tergabung dalam Solidaritas Peduli Masyarakat Korban Runtu 26 Mei [SOLIDAMOR 26] mendesak kepada ;

1. Kapolda Kalimantan Tengah, untuk membuka kembali kasus ini, serta mengusut dan menindak tegas para pelaku tindak kekerasan yang terjadi di desa Runtu.

2. Semua unsur Muspida Kotawaringin Barat untuk sesegera mungkin mengimplementasikan kesepakatan yang telah disepakati bersama masyarat pada tanggal 27 Mei 2005 (sebagaimana poin kesepakatan diatas).

3. PT Mitra Mendawai Sejahtera [MMS] agar membuka ruang dialog dengan di mediasi oleh Pemerintah Kabupaten [Bupati Kobar] dan Kepolisian [Kapolres] untuk segera menyelesaikan konflik agraria dengan warga Runtu dan sekitarnya tanpa memihak salah satu pihak.

4. Komnas HAM dan Kepolisian Negara RI segera melakukan identifikasi kasus dengan menurunkan tim Investigasi ke TKP dan mengusut tuntas atas terjadinya Tragedi Runtu 26 mei 2005.


###

Kontak : Satriadi

Mobile : 08125090926

Saturday, July 08, 2006

Kronologis Teror Untuk Solidamor 26

KRONOLOGIS KEJADIAN

[Palangkaraya, 1 Juli 2006]



Sabtu, 1 Juli 2006 kantor Yayasan Betang Borneo [YBB] yang juga sekretariat Solidaritas Peduli Masyarakat Runtu 26 Mei 2005 [SOLIDAMOR-26] kedatangan sebuah paket yang dikirim oleh Otoh yang beralamat Pangkalan Bun [Alamat Tidak lengkap] yang ditujukan kepada Uga Koord. SOLIDAMOR -26 dengan alamat Jl. Virgo. No. 30 Komplek. Amaco Palangkaraya, sekitar pukul 11. 00 Wib yang dikirim melalui jasa pengiriman [tidak jelas apa nama jasa pengiriman paket tersebut] yang disampaikan oleh seorang laki-laki berusia kurang lebih 35 tahun dengan memakai mobil terbuka jenis pik-up berwarna putih [tidak diketahui jelas merek dan no. Polisi], pada saat menerima paket saudara UGA diminta seperti biasanya menandatangani tanda terima pengiriman barang tanpa salinan yang ditinggalkan, begitu terima paket seperti biasanya Uga membawa kedalam rumah dari teras depan dan menaruhnya diatas meja, tanpa rasa juriga kemudian membuka paket tersebut yang dibungkus dengan sampul Kado, tampak terbukus didalam sampul tersebut sebuah kotak sepatu namun begitu dibuka sampul tersebut langsung tercium bau menyengat tajam, atas bau tersebut kemudian Uga membatalkan membuka kotak tersebut yang dimana masih dalam kondisi tertutup rapat dan dilapisi dengan lagban/plester. setealah melihat hal tersebutkemudian berinisiatif menelepon sodara Satriadi [Direktur Eksekutif Walhi Kalteng] di Jalan. Gemini No. 91 Komplek Amaco Palangkaraya yang jaraknya dari kantor YBB kurang lebih 200 meter dengan tujuan untuk memberitahukan paket yang mencurigakan tersebut, sekitar kurang lebih 15 menit kemudian sodara Satriadi datang dan membuka paket tersebut. setelah dibuka ternyata didalam paket masih terbukus kantong plastik warna putih yang dibalut dengan lagban, bersama bukusan plastik tersebut tertulis pesan "JANGAN MACAM-MACAM NANTI DI DOR" atas pesan tersebut Satriadi menyarakan untuk menelepon rekan-rekan media, yang ditelepon pertama kali adalah Ismail dari koran Kalteng Pos dan yang kedua sodara Viktor Girot koran Dayak Pos, Poguh Santoso dari RCTI dan masih banyak lagi media yang ditelepon oleh sodara Satriadi. Kurang lebih 30 menit kemudian datang sejumlah media massa menyaksikan paket tersebut namun isi paket masih tandatanya karena tidak ada satupun yang berani membuka sebelum disaksikan oleh aparat kepolisian sehingga kawan-kawan media berinisiatif menelepon pihak kepolisian dari Polres Kota Palangkaraya, kurang lebih 30 menit kemudian datang anggota Polres Palangkaraya dengan menggunakan mobil yang bertuliskan Unit olah TKP. Selanjutnya Uga dimintai keterangan sementara oleh pihak kepolisian yang kemudian diteruskan dengan meminta keterangan sodara Satriadi sebagai saksi, kurang lebih 15 menit dimintai keterangan, sekitar pukul 14. 00 Wib kami diminta untuk datang ke kantor polisi untuk menyampaikan laporan resmi, sementara itu paket di bawa ke kantor kepolisian namun masih belum diketahui apa isi paket tersebut, setelah kurang lebih dua jam di periksa Saya dan Satriadi yang juga ditemani oleh sodara Rio [Divisi Kampanye Walhi Kalteng], sodara Dimas dari Pokker SHK Kalteng dan sejumlah wartawan, atas permintaan pihak kepolisian sekitar kurang lebih pukul 15.30 Wib paket tersebut dibuka oleh sodara Dimas, dari isi paket tersebut diketahui satu ekor bangkai ayam kampung lengkap dengan bulu-bulu yang sudah membusuk bahkan sudah mengeluarkan cairan yang terbungkus di dalam kantong plastik tersebut.

Friday, June 30, 2006

Siaran Pers : Illog di Katingan

Siaran Pers
Untuk disiarkan segera

Kontak : Satriadi
Lembaga : Walhi Kalteng
Jabatan : Direktur Eksekutif
Mobile : 08125090926


“KAYU HASIL ILLEGAL LOGGING DI KAWASAN TAMAN NASIONAL SEBANGAU HARUS DIMUSNAHKAN SEGERA”

Palangka Raya, Penemuan kayu hasil pembalakan haram (illegal logging) yang terjadi di Muara Bulan, Katingan, dalam jumlah ratusan ribu kubik mengindikasikan bahwa Illegal logging masih marak di Kalimantan Tengah. Disisi lain kinerja Tim Illegal logging yang ada di Kalimantan Tengah dianggap gagal dan terkesan tidak bisa berbuat apa-apa.
Kasus yang terjadi di Katingan adalah sebagian kecil dari kegiatan pembalakan liar yang terjadi di Kalimantan Tengah. Publik semua mengetahui bahwa hampir disetiap Daerah Aliran Sungai di Kalteng adalah “jalan” yang efektif untuk membawa kayu-kayu haram tersebut. Namun upaya hukum yang dilakukan selama ini sangat kurang, bahkan hampir tidak ada para pelaku (cukong) besar yang tesentuh hukum.
Kayu-kayu hasil “temuan” biasanya selesai pada upaya lelang, padahal upaya lelang adalah upaya pelegalisasian, dan upaya ini adalah modus yang dimainkan oleh para cukong kayu tersebut tentunya dengan kerjasama yang baik dengan aparat yang membekinginya.
Walhi Kalimantan Tengah memandang bahwa upaya lelang terhadap kayu hasil illegal logging adalah upaya yang sangat memanjakan dan mengenakan bagi para cukong (pemodal), karena mereka tidak perlu susah payah mengurus dokumen-dokumen yang syah, melainkan cukup hanya “menang” lelang semuanya beres.
Melihat modus yang dimainkan dengan berkedok yang namanya LELANG tersebut, maka Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Tengah menyatakan bahwa :
1. Setiap barang “temuan” dari hasil pembalakan haram HARUS dimusnahkan, hal ini untuk memutus mata rantai mafia kayu dan aparat-aparat yang membekinginya.
2. Kayu hasil “temuan” yang berasal dari Kawasan Taman Nasional Sebangau harus SEGERA dimusnahkan. Jika ada pihak-pihak yang berupaya mengalihkan perhatian publik dengan mempersoalkan “status” Taman Nasional tersebut, maka bisa dikatakan bahwa upaya tersebut hanya “dalih” untuk melakukan pelelangan terhadap kayu tersebut.
3. Jika lelang tetap dilakukan terhadap kayu yang berasal dari kawasan Taman Nasional Sebangau, maka pihak-pihak yang melakukan lelang tersebut telah melanggar Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, dan pihak tersebut dianggap terlibat dalam kejahatan lingkungan.
4. Kepada Tim Illegal logging Kalteng, untuk lebih proaktif melaksanakan tugas-tugasnya memberantas Illegal logging di Kalimantan Tengah, tidak hanya “menunggu” kayu lewat di Sungai-sungai, melainkan melakukan pengawasan dan monitoring di kawasan Hutan.

###

Usut Tuntas Tragedi Runtu 26 Mei 2005

Siaran Pers
Solidamor 26
Usut Tuntas Tragedi Runtu 26 Mei 2005

Palangkaraya, 26 Mei 2006
Setahun sudah tragedi berdarah yang terjadi di Desa Runtu Kabupaten Kotawaringin Barat. Tragedi yang memakan korban 1 orang meninggal dunia, 2 orang cacat seumur hidup, ratusan orang luka ringan dan ribuan orang menderita defresi ringan, dan hingga kini belum ada kejelasan atas mengungkapan kasus ini.
Para pelaku lapanganpun tidak ada yang bertanggung jawab atas kejadian ini, dan tidak pernah diusut, bahkan kesepakatan yang dituangkan antara unsur Muspida Kotawaringin Barat dengan masyarakat korban yang disepakati pada tanggal 27 Mei 2005 hingga kini sebagian tidak dilaksanakan. Poin kesepakatan yang tidak dilaksanakan hingga sekarang diantara adalah :

1. Agar Muspida Kobar memberikan peringatan kepada perusahan PT. MMS beserta groupnya tidak melakukan intimidasi terhadap warga desa tersebut diatas.
2. Agar Muspida Kobar menginstruksikan kepada PT. MMS agar tidak melakukan kegiatan/menggarap lahan yang dipertahankan oleh warga masyarakat desa tersebut diatas, sampai ada kesepakatan dari seluruh warga masyarakat desa tersebut diatas.

Melihat kondisi terebut, kami yang tergabung dalam Solidaritas Peduli Masyarakat Korban Runtu 26 Mei [SOLIDAMOR 26] mendesak kepada ;

1. Kapolda Kalimantan Tengah, untuk membuka kembali kasus ini, serta mengusut dan menindak tegas para pelaku tindak kekerasan yang terjadi di desa Runtu.
2. Semua unsur Muspida Kotawaringin Barat untuk sesegera mungkin mengimplementasikan kesepakatan yang telah disepakati bersama masyarat pada tanggal 27 Mei 2005 (sebagaimana poin kesepakatan diatas).
3. PT Mitra Mendawai Sejahtera [MMS] agar membuka ruang dialog dengan di mediasi oleh Pemerintah Kabupaten [Bupati Kobar] dan Kepolisian [Kapolres] untuk segera menyelesaikan konflik agraria dengan warga Runtu dan sekitarnya tanpa memihak salah satu pihak.
4. Komnas HAM dan Kepolisian Negara RI segera melakukan identifikasi kasus dengan menurunkan tim Investigasi ke TKP dan mengusut tuntas atas terjadinya Tragedi Runtu 26 mei 2005.

###

Kontak : Satriadi
Mobile : 08125090926