Monday, August 28, 2006

Posisi Kasus Ileggal Logging Di Muara Bulan Kabupaten Katingan Kalimantan Tengah

Latar Belakang

Pemanfaan hutan dikawasan sebanagau khusunya didesa Muara Bulan dan sekitarnya sudah berlangsung lama sejak kawasan ini masih dikelola oleh salah satu perusahaan p HPH PT. Semanggang Jaya sejak tahun 1972, Sejak saat itu banyak pendatang yang mulai menempati desa tersebut yang berdatangan dari berbagai wilayah terutama wilayah pesisir dan dari daerah pegatan dan mendawai dan menjadi penduduk muara bulan. Selanjutnya masyarakat sekitar Muara Bulan mulai memanfaakan Sumberdaya alam terutama bekerja disektor kayu yang berada di sekitar Sungai Bulan, namum kayu-kayu yang dimanfaatkamn masih berdiameter besar yaitu diatas 60 Cm dan masih menguanakan peralatan manual. Pemanfaattn kayu ini mulai dilakukan masyarakat sejak tahun 80 an.

Setelah Orde Baru runtuh dan mulai memasuki masa reformasi dimana otonomi daerah mulai diberlakukan, kemudian banyak masyarakat pendatang mulai memasuki sungai bulan, terutama pendatang yang berasal dari provinsi tetangga Kalimantan Selatan terutama dari daerah Negara untuk menjadi pekerja kayu, sealain itu juga ada yang di datangkan dari pulau jawa daerah Pacitan dan Dari Palembang Sumatera Selatan. Para pendatang tersebut banyak dimodali oleh cukong yang saat itu lagi marak tanpa tersentuh oleh hukum. Biasanya mereka dibiayai selama melakukan aktivitas dengan sistem bagi hasil dimana para penebang memperoleh penggantian biaya perkubik dengan pembagian sesuai fluktuasi harga kayu dipasaran. Untuk biaya peralatan dan alat-alat yang digunakan untuk aktivitas penebangan semua ditanggunng oleh pemodal (cukong) termasuk biaya logistik dilapanyan disuplay oleh cukong, namun kemudian akan dipotong setelah kayu bisa dikeluarkan dari lokasi. Pada masa tahun 1999- 2001 dimana kayu ramin merupakan primadona karna harganya yang melambung tinggi, semakin banyak pendatang dan masyarakat yang bekerja disektor kayu dan masuk melalui sungai bulan. Hal tersebut juga mulai memunculkan konflik dimana saling berebut lokasi –lokasi kayu anatar sesame cukong kayu. Sementara itu sawmill-sawmil dan bansaw-bansaw mulai menjamur bermunculan di sekitar DAS Katingan, terutama di daerah Kecamatan Mendawai sampai ke Katingan Kuala.

Untuk mengantisipasi hal tersebut pada tahuan 2001 pihak kepolisian mendirikan Pos Polisi di Desa Muara Bulan. Pos Polisi tersebut awalnya hanya meminjam Lanting (rumah Terapung) Milik Haji Rahmat salah satu penduduk Desa Muara Bulan, namun setelah beberapa bulan pihaknya mampu membeli tanah dan membangun Pos Polisi secara permanent didarat sekitar 300 Meter dari Muara Sungai Bulan.

Sementara di Sungai Bulan yang panjangnya -/+ 55 Km yang memiliki 10 anak sungai mulai ramai dengan aktivitas para penebang, Banyak kanal-kanal (tatah) yang di buat khusus untuk mengeluarkan kayu –kayu dari dalam hutan selain menggunakan anak sungai. Hampir di sepanjang sungai terdapat pondok-podok penebang, namun salah satu perkampungan penebang yang paling ramai adalah kampung musang yang berlokasi persis di muara sungai musang sekitar 7 Km dari DAS Katingan. Perkampungan tersebut sangat ramai dikunjungi oleh para penebang apalagi pada hari jumat dimana hari tersebut merupakan hari libur para pekerja. Kampung Musang (begitu masyarakat lokal menyebutnya) hampir menyerupai sebuah desa dan telah banyak diketahui orang termasuk aparat, namun kampung tersebut tidak terdaftar sebagai bagian administartif desa Muara Bulan. Padahal penduduk yang mendiami daerah tersebut menurut perkiraan melebihi dari seribu jiwa. Selain tempat berkumpulnya para penebang kayu, juga tempat tersebut merupakan wadah para pekerja untuk melakukan hiburan, karena dilokasi tersebut terdapat Karaoke, Meja Biliard dan kios-kios yang menjajakan kebutuhan-kebutuhan para penebang. Bahkan disinyalir berdasarkan iformasi dari masyarakat lokal yang banyak mengunjungi kawasan tersebut bahwa disitu tempat transaksi obat-oabat terlarang dan tepat berkumpulnya para penjahat dan bandar-bandar narkoba dari berbagai daerah terutama dari Banjarmasin.

Setelah moratorium ramin dilakukan oleh pemerintah, banyak para cukong dan penebang membanting strir dengan memanfaatkan kayu-kayu selain ramin yaitu kayu jenis Lanan, Meranti, Kruing, dll. Beriringan dengan semakin menipisnya persedian kayu, maka hingga saat ini kayu-kayu yang ditebang berukuran kecil, bahkan ada yang berdiameter 15 cm pun ditebang. Disisi lain ukuran kayu berdiameter antara 15 Cm - 30 cm lebih disukai oleh pembeli karena selain mudah untuk mengerjakanya (mengesek di mesin pemotong) juga sedikit saja yang dibuang dan langsung jadi kayu masak dengan ukurana Balok 12 x 8. Lain halnya apabila membeli kayu yang besar diameternya diatas 30 cm bisa banyak yang dibuang karena rusak, selain itu resiko kayu berlobang dan bengkok juga banyak kemungkinannya. Hal ini yang mendorong para penebang untuk melakukan penebangan kayu dengan diameter kecil tersebut.

Konflik di Masyarakat dan Keterlibatan Aparat

Seiring dengan berjalanyaa aktivitas penebangan disepanjang sungai bulan, keadaan di masyarakat desa muara bulan juga mulai mengalami kegelisahaan dimana sumberdaya alam yang ada di wilayah desa mereka mulai habis dan banyak dinikmati oleh para cukong terutama masyarakat pendatang. Pada pertengahanan tahun 2003 maka di buatlah kesepakatan masyarakat Muara Bulan untuk melakukan restribusi terhadap hasi-hasil kayu yang dikelurakan melalui Sungai Bulan. setiap rakit yang dikeluarkan di punggut biaya 150- 250 Ribu per rakit kayu. Dari rakit kayu yang keluar tipa hari rata-rata bisa mencapai ratusan rakit. Hasil dari restribusi tersebut, masyarakat berhasil membangun jalan titian kayu (jembatan) sepanjang -/+ 1 km disepanjang desa mereka.

namun setelah itu restribusi desa terhenti karena mulai tidak tranparan dalam pengelolaanya. Selain itu juga mulai terjadi konflik dengan pendatang yang merasa keberatan atas pungutan yang dilakukan.

Kemudian pada tahuan 2004 Pos Restribusi desa (punggutan) ini diaktivkan lagi, namun untuk memperkecil konflik masyarakat Desa Muara Bulan memanfaatkan anggota Brimob untuk menjaga kawasan tersebut, para anggota brimob tersebut digaji oleh masyarakat dari hasil pungutan tersebut, sehingga dibangunlah pos polisi brimob persis di depan kampung musang tempat para penebang. Hal ini tidak berlangsung lama hanya berkisar sekitar 5 Bulan akibat pengeloalan yang tidak transparan dan saling menuduh antara pemerintah desa ( kades ) dengan pihak BPD desa. Masing-masing kubu saling menuduh mengelapkan uang restribusi sekitar 150 Juta. Mulai saat mulai terjadi kerenggangan antar pihak Pemerintah Desa Dan BPD, namun kareana mersa tergiur oleh pendapatan yang lumanyan, pada bulan februari 2006 pihak BPD mengadakan lagi restribusi kayu tersebut, namun pihak kepala desa mulai tidak setuju . Akibat konflik tersebut, hal ini mulai mengemuka dan banyak diketahui orang. Mengingat hal tersebut mulai diketahui khalayak banyak, maka diturunkan Tim untuk membongkar aktivitas penebngan didanau bulan ini, dimana sebelumnya tim intelejen terlebih dahulu melakukan fly over menggunakan pesawat untuk melihat lokasi-lokasi kayu didalam sungai bulan.

Bagi aparat hal ini sangat ironis, karena aktivitas penebang yang dilakuakn didaerah sungai bulan ini tidak pernah ditertibkan, padahal semenajak Inpres Illegal Logingg Nomor 4 Tahun 2005 di keluarkan Oleh Persiden SBY dan dilakukan penertiban secara menyeluruh di seluruh daerah di Indonesia termasuk daerah Katingan, namun anehnya aktivitas ini tidak pernah tercium oleh aparat padahal hal tersebut terjadi di depan mata karena keberadaan Pos Polisi yang di komandani Serka Jhon Digul berada tepat di depan Muara Sungai Bulan tempat kayu-kayu dikeluarkan. Hal ini sangat mustahil apabila pihak aparat kepolisian dilapangan sampai tidak mengetahui aktivitas penebangan dilapangan bahkan disinyalir sang komandan pos polisi sering mengunjungi kampung penebang di dalam Muara Sungai Bualan tersebut. Selebihnya pihak aparat Brimob juga pernah diminta bantuan untuk mengamankan konflik antara masyarakat lokal dan pendatang bahkan sempat membangun pos ditengah perkampungan penebang. Selain Pos Polisi di desa Muara Bulan juga ada Pos Dinas Kehutanan. Pos ini sudah lama ada sejak tahun 80-an, namun hal itu juga tidak menjamin tertibnya penjarahan di hutan sekitar wilayah muara bulan tersebut.

Pos–pos tersebut justru menjadi ajang pungli, menurut masyarakat setiap rakit wajib menyetor Rp 250.000 –Rp. 500.000 setiap lewat di Pos polisi tersebut. Hal ini sudah berlangsung lama sejak pos polisi tersebut didirikan.

Indikasi Aktor Dan Cukong

Kegiatan penebang yang dilakukan di Muara Bulan sudah berlangsung lama tanpa tersentuh karena hal tersebut dibekeingi oleh aparat dan cukong-cukong. Indikasi tersebut adalah bahwa kayu tersebut jumlahnya ratusan ribu potong dan sakal besar. tentu hal ini memerlukan sumberdaya yang besar terutama modal dan tenaga kerja dalam melakukan aktivitas penebangan. Biasanya cukong- cukong tersebut melaui kakai tanganya membiayai para penebang bahkan mendatangkan khusus dari nagara kalsel, Pacitan dan Pelembang dimana sebelumnya mereka telah memiliki lokasi dan areal didalam sungai bulan, bahkan ada yang membeli lokasi dari orang yang sebelumnya mengelola kawasan tersebut lengkap dengan tatah-tatahnya. Sebenarnya informasi tentang aktivitas ini pernah disinyalir oleh Pihak Korem, selanjutnya Wakil Bupati Katingan Yatenglie juga pernah mengujungi kawasan ini, namun hal ini terungakap setelah tim gabungan turun langsung kelapangan dimana sebelumnya tim intelejen mencari lokasi-lokasi kayu melalui pesawat. Padahal secara logis bahwa sawmil –sawmil yang berada disepanjang sungai Katingan terutama dari desa Perigi sampai Pegatan merupakan pembeli utama dari kayu-kayu illegal tersebut karena sawmill-sawmil tersebut tidak memiliki areal untuk memenuhi bahan baku kayu mereka. Para pemilik Sawmil tersebut banyak yang berasal dari Palembang dan Banjarmasin dan tidak pernah tersentuh oleh hukum.

Modus Operandi

Dalam melaksanakan aktivitas ilegal logging tersebut, pihak cukong biasanya melalui kaki tanganya mengkoordinir para pekerja yang didatangkan khusus dari luar kalteng, biasanya dari Negara Kalsel, dan Pacitan Jawa Timur serata Plembang Sumsel. Para pekerja tersebut diberikan modal kerja berupa alat-alat untuk melakukan aktivitas penebangan berupa chainsaw, dan alat-alat pendukung lainnya. Setiap kelompok terdiri dari 6-8 orang disatu lokasi yang sebelumnya sudah diklaim dulu sebagai wilayah kerjanya yang kemudian dibuat tatah-tatah (kanal) untuk mengeluarkan kayu, atau membeli kawasan dari orang yang sebelunya pernah mengeloala kawasan tersebut Biasanya dalam pembagian hasil disetiap kubik para penebang memperoleh Rp. 75.000 – 100.000 perkubik untuk jenis campuran, apabila jenis meranti (jenis kayu merah) yang diametrnya di atas 30 Cm bisa mencapai 300 ribu-350 ribu perkubik Kayu tersebut harus di jual ke pemodalnyadan tidak boleh di jual kepembeli lain. Sementara untuk logistik dan bahan makanan mereka disupport oleh pemodal melaui kurir ke dalam hutan tempat mereka bekerja. Biaya makanan tersebut dipotong juga oleh pemodal yang tentunya dengan harga yang mengagit pula.

Sementara apabila menjual langsung tanpa dimodali biasanya untuk perkubik sebesar 130 Rb / kubik untuk jenis kayu campuran ( berbagai ukuaran diameter 15 Cm-30 Cm dari jenis meranti, garunggang, Martibu, Pantung, Purnaga, Uwar, Katiaw, Jinjit) Sementara untuk jenis kayu meranti ( Kayu Merah) dengan ukuran diatas 30 cm apabila di terima dilokasi (di sawmill) bisa mencapai 600 ribu perkubik. Kayu-kayu tersebut kemudian di gesek dan diolah di sawmill disepanjang Sungai Katingan dari desa Perigi sampai ke Pegatan. Setelah log-log kayu tersebut menjadi kayu olahan berupapa balok-balok kemudian dibuatkan surat-surat (SKSHH) melui aparat-parat dinas kehutan yang tentunya diperoleh dengan illegal. Setelah memperoleh legalisasi, kayu olahan tersebut di kirim ke Surabaya, dan Jawa Tengah. Intinya proses legalisasi kayu-kayu dari Sungai Bulan dilakuakn di Sawmil-Sawmil tersebut dengan bekerja sama dengan dinas kehutanan setempat untuk menerbitkan SKSHH.

Paska penertiban

Setelah Tim terpadu yang terdiri dari Pihak BKSDA, Kejaksaan Tinggi Kalteng, Korem 102/PP, POLDA Kalteng, Dishut Propinsi Klateng, Dishut Katingan pada tanggal 21 Juni 2006 turun ke lokasi dan menemukan sekitar 500 ribu potong kayu dari berbagai jenis berdiameter rata –rata 30 cm disepanjang sungai dan danau-danau disungai bulan yang membuat tercengang semua pihak karena banyaknya kayu –kayu tersebut di tengah maraknya penertiban yang dilakuakan oleh aparat kepolisian. Semua pihak yang berkepentingan mulai memanfaatkan keadaan, berbagai prediksi- krtikan dan tangapan dilontarkan yang justru membingungkan masyarakat.

Dua hal yang mengemuka adalah pertama kayu-kayu tersebut dimusnahkan karena Undang-Undang mengisyaratkan hal itu, dan kedua kayu-kayu tersebut dilelang, dan satu pilihan alternative dengan alasan sosial bahwa kayu-kayu tersebut disumbangkan ke daerah bencana. Setelah penemuan tersebut di desa muara bulan dijadikan pos gabungan dari pihak Dinas Kehutanan, BKSDA, Korem dan bahkan didesa Muara Bulan diterjunkan pasukan gabungan dari pihak Kepolisian sekirat 100 personil terdiri dari polres Katingan, POlers Asmpit, Polda Kalteng dan Brimob. Hal ini menurut mereka untuk mengamankan kayu-kayu temuan tersebut, namun bagi masyarakat hal ini menakutkan karena desa mereka di penuhi oleh aparat yang berseragam dan bersenjata lengkap. Dilapangan tim pengaman tersebut berjalan sendiri-sendiri dimana pihak-pihak tersebut hanya menjaga kawasan masing-masing. Pihak kepolisian hanya menjaga kawasan yang menurut mereka tidak masuk dalam kawasan TN, sehingga di buat batas di Sungai Bulan yang bertuliskan kayu temuan Polres Katingan, sementara pihak BKSDA mengamanakan wilayah diatas sungai yang mereka anggap merupakan kawasan Taman Nasional Sebangau. Hal ini menujukan adanya kepentingan antar instansi-instansi tersebut dimana pihak kepolisian mengharapakan kayu-kayu temuan tersebut akan dilelang, sedangkan pihak BKSDA menginginkan kayu-kayu tersebut di musnakan karena menurut undang undang hal tersbut harus dimusnahkan. Hingga saat ini kayu-kayu dilapangan banyak yang hanyut terbawa banjir, bahkan banyak yang hilang. Ini menjukan bahwa penertiban illegal logging hanya mencari keuntungan dari hasil lelang kayu tersebut sementara hutan di Kalteng tetap terus dijarah. Tolak ukur penertiban illegal loging hanya menguanakn ukuran berapa kayu yang berhasil ditangkap, berapa kasusu yng berhasil ditangai bukan ukuran berapa luas kawasan yang sudah berhasil diselamtakan.

Kontroversi Taman Nasioanal

Status Taman Nasional juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan problem Ileggal Logging yang terjadi di Sungai Bulan ini. Taman Nasional Sebangau yang di tetapkan oleh Dephut melaui surat keputusan Mentri Kehutanan Nomor : SK 423/ Mehut-II/ 2004 tertanggal 19 Oktober 2004 yang ditandatangani oleh Muhamamad Prakoso seluas 568.700 Ha yamg terdiri dari hutan produksi seluas 510.250 Ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 58.450 Ha.

Selanjutnya pengelolaan kawsan TN otomatis telah diserahka kepada Dirjen Perlindungan Hutan dan Koservasi Alam (PHKA), sementara untuk pengelolan dan pengawasan seharusnya ada unit pelaksanaan teknis (UPT) dilapangan, namun hingga saat ini belum terbentuk sehingga pengeloalaan diserahkan kepada pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) sebagai kepanjangan tangan PHKA ditingkat Provinsi yang memiliki tanggung jawab atas Taman Nasional Sebangau tersebut.

Sejak ditetapkan menjadi kawasan Taman Nasional, seharusnya telah ada pengawasan yang dilakukan karena kewenangan pengelolaan sesuai dengan UU No 41 Tahun 1999 dan PP No.34 Tahun 2003 sepenuhnya berada pada kewenangan mentri kehutanan. Kewenangan tersebut meliputi administrasi dan institusi pengeloalaan opresional pengamaan serta pembiayaan.

Sebelumnya terjadi polemik yang serius tentang penetapam kawasan tersebut menjadi kawasana Taman Nasional antara pemerintah Propvinsi Kalteng, Pemerintah Kabupaten Katingan soal luasan kawasan tersebut dan lembaga-lembaga internasional yang mengelolanya, yang tentunya pada subsatansinya bukan untuk melindungi kawasan tersebut tetapi untuk merebut akses atas pengeloalan sumberdaya alam yanag ada di dalam kawasan tersebut. Alasan yang mengemuka adalah apabila kawasan tersebut di jadikan Taman Nasional pemerintah daerah tidak bisa mengakses kawasan tersebut karena kawasan tersebut rencanaya akan dibuat jalan tembus untuk akses desa-desa dan untuk pembangunan pelabuhan teluk Jeruju, sementara Depertemen kehutanan menjadikan kawasan itu menjadi Taman Nasional karena merupakan target untuk mengejar perluasan jumlah kawasan Taman Nasional di Indonseia atas desakan pihak luar dengan negara dan lembaga donor termasuk bank dunia. Proses tersebut tidak terlepas oleh campur tangan lembaga konservasi International bahkan operasi illegal loging disungai bulan juga merupakan campur tangan lembaga konservasi international.

Sangat ironis karena selam 2 tahun aktivitas penebangan illegal di kawasan tersebut tidak dapat dipantau. Hal ini menujukan bahwa Taman Nasional tidak dapat menjamin akan melindungi kawasan dari penjarahan Illegal Logging. Disinyalair bahwa penetapan kawasan Taman Nasional hanya mengejar target dari departemen kehutan berdasarkan pesanan pihak luar sementara pengawasanya sama sekali tidak pernah dilakukan. Hal ini memperpanjang kasus-kasus penjarahan dikawasan konservasi yang tidak dapat menjamin penjarahan illegal.

Keberadaan Taman Nasional ini membuat polemik apakah kayu-kayu temuan tersebut akan dilelang atau dimusnahkan sementara status kawasan ini masih penetapan saja dan memilki batasan imaginer seluas 568.700 Ha yang tentunya belum memiliki batas yang pasti sehingga belum jelas apakah kayu-kayu temuan tersebut masuk dalam kawasan TN atau tidak. Menurut undang-undang No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Hayati dan ekositemnya Pasal 24 ayat 2 yang mnyatakan :

Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi atau bagian-bagiannya yang dirampas untuk negara dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan.

Dilain pihak, Kepolisin dan pemerintah daerah Katingan mengingikan kayu-kayu tersebut di jual, bahakan perhitungan jumlah kayu yang dilakukan yang dipimpin oleh Buapati Katingan hany menghitung kayu-kayu yang di perkiraakan berda di luar kawasan, sementara kayu- kayua yang diperkirakan masuk TN di abaikan saja. Hal ini menjukan bahwa keinginan pemerintah daeraha dan pihakkepolisian untuk meperoleh keuntungandari kayu-kayu tersebut dengan melelang kayu-kayu tersdebut.

Dilain pihak konsep penerapan Kawasan Taman Nasioanal hanya melihat dari aspek ekologis juga salah satu dampak sitem pengelolaana kawasan yang tidak pberpihak pada rakyat dimana masyarakat lokal yang seharusnya memiliki kawasan dilarang beraktivitas dikawasan konservasi yang tentunya akan menutup akses masyarakat akan kawasan. Yang perlu hati–hati bahwa illegal logging akan dijadikan alasan utama untuk menutup akses masyarakat untuk memasuki kawasan disepanjang DAS Katingan terutama yang berdekatan dengan kawasan SEabanagu tersebut. Padahal kawasan tersebut merupakan mata pncaharian masayarakat lokal untuk mencari ikan dan mengemur, hal tersebut menjadi pertanyaan dan merupakan ancaman serius warga masyarakat didesa Muara Bulan. Mereka menjadi gelisah apabila sungai bulan di tutup selamanya dan mempertanyakan hal tersebut kepada DPD asal Kalteng Abi Kusno Nahran yang mengunjungi Muara Bulan berkenaan dengan temuan kayu tersebut.

Sejak dulu masyarakat lokal hanya memanfatakan kayu- kayu yang berukuran besar dari jenis kayu-kayu yang bagus, namun semenjak datanganya para pendatang, pemanfaatn hutan berubah kearah sporadis dengan menebang kayu-kayu kecil. Kalau dilarang menebang kayu mungkin kami bisa terima, tapi apabila mencari ikan dan mengemur kami dilarang ini tidak adil” kata noor (34 thn) penduduk desa Muara Bulan.

Hal ini akamn menjadi nacaman serius apabila tidak di tangani, karena masayarakat sekitar menjadikan huran dan sumberdaya alam sebagai mata pencaharian utama. Setelah penertiban kayu tersebut banyak masyarakat yang kemudian meninggalkan desa muara bulan dan mencari pencaharian lain sebagai penambang emas di danau Kalaru karena di desa mereka tidak ada lagi mata pencaharian lain karena kawasan sungai bulan telah dijaga oleh aparat dan masyarakat tidak berani untuk memasuki kawasan tersebut, sealain itu pondok-pondok yang ada banyak di bakar oleh aparat.

Hasil Investigasi

Rio And Dadut

0 Comments:

Post a Comment

<< Home